Jambinai, Post-Rock dari Negeri K-Pop
Dalam ranah post-rock, deretan nama
seperti Mogwai, Explosion in The Sky, Sigur Rós dan Mono
(Japan) pasti sudah sangat familiar. Namun belakangan, nama Jambinai muncul sebagai band
eksperimental post-rock dari Korea Selatan. Kehadiran mereka
dengan menggabungkan alat musik tradisional Korea dan modern menjadi keunikan
tersendiri serta bagai angin segar yang membawa warna baru dalam perkembangan
musik indie di Korea.
![]() |
Jambinai |
Jujur saja, ketika mendengar nama Korea Selatan spontan yang terlintas dipikiran saya hanya K-Pop, K-drama, serta oppa-oppa imut nan menggemaskan. Namun pada akhir 2017 lalu, saya merasa sangat beruntung ketika hasil eksplorasi saya di laman youtube berbuah manis dan cukup menggembirakan hati, nama Jambinai muncul di daftar related video dengan lagu mereka yang berjudul “They Keep Silence”, lagu ini juga menjadi salah satu lagu favourite saya dalam album kedua mereka, A Hermitage (2016). Kim Bo-mi (haegeum), Lee Il-woo (vokal, gitar elektrik, piri, taepyeongso), dan Sim Eun-yong (geomungo) yang tergabung dalam trio Jambinai dengan anggota tambahan Choi Jae-Hyuk (drums) dan Yu Byeong-koo (bass guitar) mulai bergabung pada tahun 2009. Sebelum merilis album A Hermitage dibawah label independen asal Inggris, Bella Union yang juga menaungi Explosion In The Sky, Beach House, Susanne Sundfør dan Wild Nothing, berhasil menelurkan satu EP, yaitu Jambinai (2010) dan album Différance (2012) dibawah label GMC Records. Jambinai juga menjelaskan bahwa keunikan dan makna dari instrumen tradisional Korea sudah sangat jarang dilirik oleh masyarakat Korea sendiri, terutama kaum muda disana.
"Their instrumental fusion style was thrilling, unexpected and perfectly controlled." ( The Guardian )
![]() |
Album A Hermitage (Sumber: Bandcamp.com) |
Terkait kreativitasnya dalam bermusik, Jambinai
berusaha untuk mengeksplorasi berbagai genre, seperti post-rock,
metal, jazz noise dan eksperimental. Dikutip dari laman website
musik independen asal Inggris, The
Line of Best Fit, secara struktur Jambinai
mengikuti jejak band post-rock dan post-rock eksperimental
terdahulu, seperti Mogwai dan Godspeed You! Black
Emperor. Perpaduan antara efek distorsi gitar dengan suara crescendoes dan simbal, serta
suara khas dari haegum (alat musik tradisional Korea serupa
biola), geomungo (alat musik sejenis kecapi), dan piri (sejenis
seruling), menjadikan suasana dalam lagu-lagu Jambinai terasa lebih “gelap” dan
suara musik yang terdengar ‘unik’.
"At their lightest, the massive songs approach gray cloud post-rock and jazz ambience, and reach into the droning noise of sludgy metal at their darkest." (Consequence of Sound)
Salah
satu lagu andalan mereka dalam album A Hermitage, “They
Keep Silence”, dibuka dengan petikan geomungo unik dan
suara vokal yang terkesan malas dan samar, distorsi dari gitar sekaligus
perpaduan alat musik tradisional dan modern yang mereka gunakan pada
pertengahan lagu menciptakan suasana yang suram sekaligus dipenuhi amarah.
Dibalik lagu ini juga tersimpan kisah kelam dari tragedi tenggelamnya kapal Sewol yang menewaskan
lebih dari 300 orang, sebagian besar dari korban adalah murid SMA.
Jambinai berusaha menyampaikan kritik kepada pemerintah Korea
Selatan yang seolah diam dan menutupi fakta kelalaian kru atas peristiwa itu.
Dalam wawancara dengan The Line of Best Fit, Il-Woo
menjelaskan bahwa banyak musisi yang membuat lagu sedih terkait tragedi
tersebut, namun sebaliknya, ia ingin menyampaikan kemarahan dan kiritik melalui
lagu ciptaannya. “Many musicians in Korea made songs of sadness,
mourning all those innocent victims but I didn’t want to do that, I wanted to
focus more on the anger and suffocation.”.
They Keep Silence - Jambinai (Sumber: Youtube)
Dalam
perjalanan musik mereka, Jambinai berhasil melakukan tur konser di Amerika
Serikat dan Eropa serta mendapatkan respon yang positif dari penonton. Namun,
pilihan mereka dalam mengeksplorasi genre post-rock di Korea,
sudah bisa ditebak tidak akan mendapatkan respon yang antusias oleh mayoritas
penonton. Dalam wawancara dengan Vice, Lee mengatakan bahwa reaksi
penonton ketika mereka tur di Eropa sangat meriah, berbanding terbalik dengan
suasana konser mereka di Korea. Selain itu, album Hermitage berhasil
masuk dalam daftar ’15 Great Albums You Didn’t Hear in 2016’ pilihan
kontributor The Rolling Stones.
“This tour is really hot. The audiences in Korea are very quiet, but here (Europe) they are very loud and have a strong reaction. They really cheer us up.” - Lee Il-Woo
Melihat
perkembangan skena musik indie di Korea sendiri sangat menarik
meskipun seringkali tertutupi dengan dominasi K-Pop. Beberapa waktu yang
lalu, Vice Indonesia merilis video yang berjudul
"Mengarungi Dunia Musik Indie di Korea Selatan: Breaking
Waves” di kanal youtube mereka, video yang
berdurasi sekitar 7 menit 17 detik ini mengajak kita untuk melihat perkembangan
pertunjukan musik indie di Seoul, Korea Selatan. Sebuah fakta yang menarik
bahwa pesta atau pertunjukan musik di kota hanya bisa dilakukan di dalam
ruangan, sehingga sejumlah musisi indie di Korea memilih tempat di luar Seoul
agar bisa dengan bebas berekspresi dengan memilih berpesta di alam bebas,
seperti di pinggir pantai atau laut, para penonton terlihat sangat menikmati
pertunjukan mereka.
Namun,
dalam mengeksplorasi perkembangan musik indie di Korea Selatan
bukanlah perkara mudah, salah satunya karena keterbatasan bahasa,
mayoritas media lokal serta laman media sosial para musisi indie hanya
menggunakan bahasa Korea. Dikutip dari laman Groovekorea.com, "For someone who doesn’t speak Korean, discovering and
unearthing these bearers of new music is hard work."
Nah, saran saya untuk pada netijen yang keburu suudzon ketika
mendengar ada yang menyebut lagu atau penyanyi dari Korea (karena
realitanya banyak orang yang menganggap Korea Selatan hanya berisi K-Pop saja),
saran saya berhusnudzon lah, karena jika terus seperti itu kalian tidak akan
menemukan Jambinai ataupun UHF
Seoul yang syahdu, heu heu~
Sumber:
Comments
Post a Comment