Gastrodiplomacy, The Power of Food

“Food is the oldest form of diplomacy.”  - Hillary Clinton
Makanan, salah satu kebutuhan dasar makhluk hidup ini bisa dikatakan menjadi salah satu elemen penting dalam konteks global hari ini. Hampir seluruh negara dari berbagai belahan dunia menempatkan makan sebagai isu penting, mulai dari krisis pangan yang terjadi di negara-negara konflik yang dapat dimasukkan ke dalam isu keamanan nasional, hingga pada perkembangan kuliner sebagai alat diplomasi dalam konteks kebijakan luar negeri. Gastrodiplomacy, istilah tersebut semakin populer dalam kurun waktu 10 tahun terakhir sebagai sebuah pencapaian dalam perkembangan bentuk public diplomacy dan muncul sebagai strategi bagi negara-negara untuk menggunakan keunikan kuliner mereka dalam rangka mempromosikan diri pada level global. Praktik gastrodiplomacy sendiri mulai dikenal luas melalui keberhasilan kebijakan “Global Thai Program” oleh Thailand pada 2002. Sejak saat itu, langkah tersebut mulai diikuti oleh negara-negara lain, seperti Taiwan, Korea, Peru, dan Malaysia. (1)
Mary Jo Pham, salah seorang scholar dibidang gastrodiplomacy menekankan bahwa makanan memiliki peran penting baik dalam membentuk sejarah dunia serta interaksi diplomatik. Makanan telah berperan dalam membentuk rute perdagangan pada masa lampau, serta menjadi sumber dari kekuatan ekonomi dan politik bagi siapa yang mampu menguasai kapulaga, gula dan kopi. Namun, seiring perubahan zaman dan trend kebijakan pada konteks global, makanan tidak hanya digunakan sebagai jamuan formal pada sesi perundingan di level perwakilan negara, tapi juga dapat menyentuh lapisan masyarakat umum dengan label kuliner khas dari negara tertentu, bahkan juga dijadikan sebagai bagian promosi budaya, fenomena yang sedang berkembang inilah yang disebut dengan gastrodiplomacy. Singkatnya, gastrodiplomacy merupakan praktik dalam memperkenalkan kekayaaan budaya sebuah negara melalui makanan. Negara-negara seperti Korea Selatan, Peru, Thailand, dan Malaysia dikenal dengan kulinernya yang khas dan memanfaatkan keunikan tersebut melalui bentuk diplomasi budaya untuk meningkatkan perdagangan, investasi ekonomi, pariwisata, serta menjadi elemen dalam soft power yang mereka miliki. (2)
Seperti keberhasilan penggunaan musik sebagai diplomasi budaya, gastrodiplomacy juga mencoba untuk menciptakan sesuatu yang tangible (nyata), hubungan emosional dan trans-rational. Terkait bentuk hubungan emosional melalui gastrodiplomacy, Rachel Wilson menjelaskan bahwa kita dapat merasakan makanan melalui indera yang ada ditubuh kita, baik sentuhan dan penglihatan, khususnya rasa dan bau. Hal tersebut memiliki reaksi tertentu, intim, kualitas emosi, serta menghasilkan ingatan akan makanan yang kita makan dan sensasi yang kita rasakan ketika memakannya.
Istilah gastrodiplomacy sendiri seringkali disandingkan dengan diplomasi kuliner (culinary diplomacy), namun pada prakteknya kedua bentuk diplomasi ini memiliki sedikit perbedaan. Diplomasi kuliner lebih menekankan pada perjamuan makan di meja perundingan atau pada level tertinggi pemerintahan melalui perwakilan negara, sedangkan gastrodiplomacy adalah praktik langsung (people to people) pada level terbawah atau masyarakat umum dengan menggunakan berbagai macam kuliner khas untuk memperkenalkan cita rasa dari masyarakat lokal (ethnic communities) kepada masyarakat dari negara lain. Para juru masak lokal yang berada di negara lain (diaspora chefs) memanfaatkan keahlian mereka di dapur untuk memenangkan hati dan perut dengan memasak makanan khas dari negaranya (national foods)
Selain itu, aktor yang terlibat dalam praktek gastrodiplomacy tergolong multilevel, karena tidak hanya pemerintah dan juru masak yang memperkenalkan kuliner khas, tapi juga termasuk perusahaan makanan, celebrity chefs, agensi wisata, firma public relations, praktisi diplomasi publik, acara memasak yang ditayangkan di TV, hingga media sosial. Praktek gastrodiplomacy sendiri dapat dengan mudah ditemukan  pada konsep street food, dimana sharing makanan antar budaya langsung dilakukan pada level grassroots. 
Gastrodiplomacy berkaitan erat dengan upaya nation branding sebuah negara dengan menggunakan kenikmatan kuliner untuk menarik selera masyarakat global. Beberapa negara berhasil menggunakan strategi gastrodiplomacy, seperti negara midde power Peru dan Meksiko, dimana kuliner mereka ditunjuk oleh UNESCO sebagai negara dengan intangible cultural heritages. Selain itu, ada Jepang, India, dan Indonesia yang memanfaatkan kuliner khas negaranya sebagai bagian dari national brands serta upaya mempromosikan wisata. 
Makanan yang dijadikan sebagai bagian dari budaya juga dapat disebut sebagai salah satu bentuk dari soft power. Terminologi soft power sendiri dijelaskan oleh Joseph Nye sebagai kemampuan untuk membentuk preferensi aktor lain melalui bujukan dan daya tarik, dan budaya menjadi salah satu elemen utama dalam soft power. Joseph Nye dalam tulisannya yang berjudul Soft Power (1990) mendefinisikan soft power atau yang kadang disebut dengan co-optive power sebagai kemampuan aktor negara untuk membentuk atau menciptakan situasi tertentu sehingga negara lain dapat mendefinisikan kepentingan negara tersebut dan bertindak sesuai dengan keinginan negara tersebut atau dengan kata lain kemampuan sebuah negara dalam mempengaruhi negara lain untuk bertindak sesuai apa yang diinginkan aktor negara tersebut dengan cara membujuk atau daya tarik tertentu (attraction), bukan dengan  tindakan koersif. (3) 
Teknik gastrodiplomacy berhasil dilaksanakan oleh Thailand yang pertama kali menggunakan restoran sebagai pionir dalam diplomasi budaya. Pada tahun 2002, pemerintah Thailand menerapkan program ‘Global Thai’ dalam rangka meningkatkan jumlah restoran Thailand di seluruh dunia. Pemerintah Thailand menyampaikan dasar pemikirannya terkait kebijakan Global Thai karena hal tersebut tidak hanya mampu mempromosikan kenikmatan makanan pedas Thailand dan menarik para turis ke Thailand, tapi juga mampu memperdalam hubungan dengan negara-negara lain. Pemerintah Thailand menyadari bahwa warga asing cukup menyukai kuliner Thailand. Program Global Thai memuat rancangan pemerintah Thailand untuk meningkatkan jumlah restoran Thailand yang sebelumnya berjumlah sebanyak 5000 unit di seluruh dunia menjadi 8000 unit pada tahun 2003. 
Langkah Thailand ini juga diikuti dengan dua negara lain di kawasan Asia, yaitu Korea Selatan melalui ‘Diplomasi Kimchi’ dan Taiwan dengan program ‘Diplomasi Dim Sum’. Malaysia juga berupaya untuk memperkenalkan kuliner khasnya dengan membangun pasar malam Malaysia di tengah-tengah Trafalgar Square, London dan gencar memperkenalkan slogannya ‘Malaysian Kitchen for the World’. 
Pemerintah Thailand sendiri memiliki dua tujuan utama melalui program tersebut, yaitu untuk meningkatkan jumlah restoran Thailand secara global serta memperkenalkan kuliner khas mereka, Pad Thai dan See Eiu diterima oleh masyarakat internasional. Dampak dari program tersebut sangat positif, Thailand tidak hanya dikenal sebagai negara tujuan untuk berburu kuliner, tapi juga juga membuka kesempatan ekonomi dan kerjasama dengan para juru masak Thailand, produk makanan dan budaya. 
Lalu, tidak ketinggalan Indonesia juga mulai memperkenalkan program gastrodiplomacy-nya di Amerika Serikat dengan meresmikan Restaurant Task Force pada tahun 2008 untuk mempromosikan restoran Indonesia dan meningkatkan kesadaran pada masyarakat mengenai kekayaan cita rasa khas Indonesia. Selain itu, kesuksesan buku dan film “Eat Pray Love’ karya Elizabeth Gilbert juga turut menyorot kekhasan kuliner Indonesia dan dapat membantu menampilkan budaya Indonesia. 
Pada Oktober 2016 kemarin, Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri Indonesia menjalin kerjasama dengan para akademisi Universitas Sebelas Maret untuk membahas dan merancang roadmap serta grand design pengembangan pelaksanaan gastrodiplomacy. Tindakan ini menunjukkan perhatian yang besar dari pemerintah Indonesia untuk memanfaatkan  kekayaan dan kekhasan kuliner Indonesia pada level global.  
Tidak hanya oleh pemerintah dan melalui restoran, promosi cita rasa khas kuliner Indonesia juga secara tidak langsung dilakukan oleh perusahaan yang bergerak di bidang kuliner. Salah satu brand mi instan dari perusahaan makanan Indonesia mampu memasarkan produknya ke lebih 100 negara dengan membawa cita rasa khas kuliner Indonesia, seperti mi dengan rasa soto Lamongan, serta rasa rendang dan dendeng balado yang merupakan kuliner khas Sumatera Barat.
Kesuksesan gastrodiplomacy di beberapa negara akan menjadi trend yang tentu saja lebih berdampak secara langsung pada masing-masing individu, sehingga bentuk diplomasi hari ini tidak hanya melalui dialog formal antar perwakilan negara, tapi juga mampu dilakukan oleh individu dari berbagai kalangan. Mengutip pernyataan Paul Rockower dalam salah satu tulisannya bahwa diplomasi publik yang baik meletakkan perhatian pada budaya lokal sebagai langkah untuk memperkenalkan sesuatu yang ‘asing’ dan melalui cara yang lebih familiar. 

Author: Fatma O. Pratiwi

Sumber:

1. Ruddy, Braden. Hearts, Minds, and Stomachs: Gastrodiplomacy and The Potential of The National Cuisine in Changing Public Perceptions of National Image. [ed.] Shannon Haugh. Public Diplomacy Magazine. Winter 2014, 11, p. 29.
2. Rockower, Paul. The State of Gastrodiplomacy. [ed.] Shannon Haugh. Public Diplomacy Magazine. Summer 2014, 11, pp. 13-14.
3. Soft Power. Joseph S. Nye, Jr. No. 80, Autumn 1990, Foreign Policy.

    Link:
    Gecowets, Valerie. Culinary Diplomacy vs Public Diplomacy. Conflict Cuisine. [Online] March 24, 2015. [Cited: March 6, 2017.] http://www.conflictcuisine.com/culinary-diplomacy-vs-gastrodiplomacy/.
    Sackton, Tim. Eight Great Diplomacy Nations. CPD USC Center on Public Diplomacy. [Online] July 2, 2015. [Cited: March 6, 2017.] http://uscpublicdiplomacy.org/story/eight-great-gastrodiplomacy-nations.
    Forman, Johanna Mendelson. Foreign Policy in the Kitchen. E-IR. [Online] Oct 5, 2016. [Cited: March 6, 2017.]
    Rockower, Paul. Why Not Feed Indonesia to the World. Jakarta Globe. [Online] Dec 10, 2010. [Cited: March 6, 2017.] http://jakartaglobe.id/archive/why-not-feed-indonesia-to-the-world/.
    Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. Gastrodiplomacy, Penjuru Diplomasi Ekonomi Indonesia. [Online] Oct 6, 2016. [Cited: March 6, 2017.] http://www.kemlu.go.id/id/berita/berita-perwakilan/Pages/Gastrodiplomacy,-Penjuru-Diplomasi-Ekonomi-Indonesia.aspx.
    Koran Sindo. Indomie Dominasi di 100 Negara. [Online] May 2015, 2015. [Cited: March 6, 2017.] https://nasional.sindonews.com/read/1003200/149/indomie-dominasi-di-100-negara-1432094803.

Comments

Popular posts from this blog

Aku dan Aurora: Menatap Utara dan Selatan

A Bedtime Story #2

When I saw Me