Perempuan di Titik Nol (Women at Point Zero)
Sebuah Novel Karya Nawal el- Saadawi


Nawal el- Saadawi, adalah salah seorang penulis wanita asal Mesir yang berprofesi sebagai dokter, dia juga adalah seorang pejuang hak asasi perempuan, serta fokus terhadap isu-isu gender di Timur Tengah. Seorang penulis feminis yang sangat apik dalam menyusun kata-kata sehingga dengan mudah dipahami oleh pembaca dari berbagai kalangan, salah satunya dalam novel Women at Point Zero ini yang terbit pada tahun 1983 di London, Inggris. Novel ini ditulis dalam bahasa Arab oleh Saadawi, lalu diterjemahkan kedalam Bahasa Inggris, dan edisi terjemahan dalam Bahasa Indonesia telah dicetak sebanyak 11 kali, terakhir terbit pada April 2014 kemarin. Saadawi memaparkan secara gamblang bagaimana kehidupan perempuan di Mesir dalam struktur patriarki yang begitu kental melalui ‘obrolan’ singkatnya dengan Firdaus, salah seorang perempuan Mesir penghuni penjara Qanatir, yang dijatuhi vonis hukuman gantung karena telah membunuh seorang germo, dan ya, Firdaus adalah seorang pelacur. Novel yang sarat dengan kritik terhadap kemanusiaan dan budaya di Timur Tengah, Mesir khususnya, opresi terhadap kaum perempuan yang sudah dimulai dari level masyarakat yang paling kecil, yaitu keluarga. Adanya struktur patriarki yang membentuk knowledge terhadap makna dari gender dan hak asasi perempuan di negara tersebut, dan women’s experience yang menjadi kunci dalam pemaparan Saadawi di novel ini, terangkum dalam sebuah narasi yang padat dan sarat makna. Dan tentu saja, saya akan mencoba memaparkan tulisan Saadawi ini sebagai bentuk pengetahuan yang baru saya dapatkan dalam review singkat, dan semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi siapapun yang merasa bahwa dunia sedang tidak dalam keadaan yang aman, adil, dan damai.
“Saya dapat pula mengetahui, bahwa semua yang memerintah adalah laki-laki. Persamaan diantara mereka adalah kerakusan dan kepribadian yang penuh distorsi, nafsu tanpa batas mengumpul duit, mendapatkan seks dan kekuatan tanpa batas. Mereka adalah lelaki yang menaburkan korupsi di bumi, yang merampas rakyat mereka,… Bahwa sejarah cenderung mengulangi dirinya dengan kekerasan kepala yang dungu.” (Firdaus dalam Women at Point Zero)
Penggalan teks tersebut merupakan penggalan dialog antara Saadawi dan Firdaus didalam sel penjara Qanatir, Mesir. Pada mulanya, Saadawi pergi ketempat ini sebagai bagian dari kegiatan penelitiannya mengenai kepribadian suatu kelompok perempuan yang dipenjarakan karena telah dituduh melakukan berbagai bentuk pelanggaran.  Saadawi telah memulai penelitiannya mengenai penyakit syaraf (neurosis) terhadap para perempuan Mesir. Firdaus cukup dikenal dikalangan penghuni penjara Qanatir, baik oleh para sesama tahanan, maupun oleh para staf penjaga dan dokter di penjara tersebut, ia dikenal bukan karena status tahanannya sebagai pembunuh dan terdakwa hukuman mati, tapi ia dikenal karena sikap nya yang terkenal berani dan tegas menentang bentuk kekerasan dan penindasan terhadap perempuan, dimana martabat perempuan telah diabaikan hingga pada level paling rendah. Bahkan ia menolak menandatangani tawaran untuk mengajukan grasi kepada Presiden Mesir pada saat itu agar vonis hukuman mati yang dijatuhkan kepadanya dapat diganti dengan hukuman kurungan badan seumur hidup. Firdaus sendiri merupakan anak dari pasangan yang tidak mapan secara ekonomi, hingga pada akhirnya dia diasuh oleh pamannya dan melanjutkan pendidikan hingga ke sekolah menengah. Lalu, dimulai pada titik ini, Firdaus mulai menjalani hidupnya sebagai salah satu perempuan Mesir dari kelas menengah dimana hak asasi-nya terampas, martabat-nya sebagai seorang perempuan dan manusia ditindas hingga pada level paling rendah. Dibawah pengasuhan pamannya, Firdaus mulai mengalami pengalami pelecehan seksual, dan sebenarnya ini bukan kali pertama, karena Firdaus yang tidak dibekali oleh pendidikan mengenai seks sama sekali, dia pun pernah mengalami pelecehan seksual oleh teman sebaya dilingkungan sekitar rumahnya. Namun, Firdaus tidak menganggap ini sebagai hal yang jahat dan menyakitkannya, karena dia pun belum dapat pemahaman mengenai hal ini. Perbincangan atau pendidikan seks di Timur Tengah, atau di Mesir khususnya merupakan hal yang sangat tabu, Hal ini dianggap tidak pantas untuk diperbincangkan, berbagai macam faktor yang mempengaruhi hal ini, mulai dari pemahaman tentang agama yang ditafsirkan oleh sekelompok masyarakat dominan, yaitu laki-laki, yang terdiri dari ulama dan orang-orang yang dianggap cakap dalam bidang agama, hingga budaya patriarki yang membentuk struktur sosial yang bias gender dan merugikan pihak tertentu, yaitu perempuan. Sehingga, pelecehan dan kekerasan seksual sangat rentan terjadi dalam kelompok masyarakat ini, dan hal tersebut dapat kita telaah dalam pemaparan awal di novel ini, ketika Firdaus masih dibawah pengasuhan keluarga dan pamannya. Hal ini juga menjadi kritik terhadap mitos perlindungan (myth of protection), dalam area ini laki-laki digambarkan sebagai sosok yang kuat dan menjadi pelindung bagi perempuan, yang dianggap lemah dan pantas berada dibawah perlindungan kaum laki-laki. Dimana hal ini dapat dilihat dari posisi dan peran laki-laki dalam struktur masyarakat Mesir yang sangat dominan, bahkan ruang gerak perempuan dalam lingkup publik, baik dalam akses pendidikan dan kesehatan, harus didampingi oleh wali atau pendamping laki-laki yang sah, sehingga peran dan hak perempuan terbatas hanya pada lingkup domestik (rumah).
Secara keseluruhan, alur cerita ini dikemas dalam tulisan yang ringan, novel yang cukup singkat, padat, dan sarat dengan pemaparan yang lugas mengenai pengalaman seorang perempuan, Firdaus, yang berusaha berjuang untuk hidup dan memberi makna pada setiap kejadian yang mampir dalam perjalanan hidupnya. Firdaus yang sempat mengecap pendidikan formal dibangku sekolah menengah, tidak bisa melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi – universitas – seperti yang dia impikan. Firdaus dengan terpaksan mengisi masa remajanya dengan dipaksa untuk menikahi pria tua yang umurnya sangat jauh diatas usia Firdaus, lalu kehidupan Firdaus berlanjut, dan berputar seperti dalam lingkaran setan ketika Firdaus memutuskan untuk melarikan diri dengan berbekal ijazah sekolah menengah, dan dipaksa untuk menjadi pelacur. Firdaus, seorang perempuan yang dianggap lemah dan akan ‘berharga’ jika berada dalam penguasaan laki-laki. Novel ini menggambarkan bagaimana hukum di Mesir yang sangat timpang berdasarkan seks, seperti pelacur yang dianggap sebagai profesi yang melanggar hukum dan ada aturan-aturan tertentu yang memuat hukuman atas para pelacur, yang mana pelacur disini adalah perempuan. Sedangkan germo, dianggap bukan suatu kejahatan, tidak ada aturan atau hukum yang secara tegas memuat tentang ini, sehingga seseorang yang berprofesi sebagai germo seringkali lolos dari tuntutan hukum. Firdaus divonis dengan hukuman mati karena dia telah membunuh seorang germo laki-laki, yang pada kenyataannya telah mengancam dan memperbudaknya, namun hukum negara tidak melihat ini, tidak akan mengusut mengapa pembunuhan ini bisa terjadi, atau penjahat macam apa yang telah dibunuh oleh Firdaus. Tidak! Pada kenyataannya Firdaus tidak bisa mengadu kemanapun, berlindung pada siapapun dinegara yang seharusnya melindungi seluruh warga negaranya tanpa terkecuali. Penegak hukum yang korup, suap merajalela, penindasan terhadap kaum lemah dan miskin seperti pemandangan yang lumrah, dan perempuan adalah aktor yang termarjinalkan, struktur sosial dan budaya yang dibentuk sedemikian rupa, dan dilanggengkan oleh para pemimpin, tokoh masyarakat, dan terutama kaum laki-laki, untuk terus mempertahankan posisi mereka sebagai penguasa dan penindas, baik dalam ekonomi, politik, dan relasi sosial berdasarkan seks.
Lalu, ada bagian menarik dari isi buku ini menurut saya ketika Firdaus bercerita mengenai pengalamannya sebagai seorang pelacur yang ‘sukses’ berhasil menarik perhatian seorang pejabat asing untuk turut menikmati ‘jasa’ nya. Tapi, tidak mudah bagi salah satu pemimpin negara asing ini untuk dapat menaklukkan Firdaus, bahkan dia sampai meminta bantuan pemerintah lewat polisi Mesir untuk memaksa Firdaus agar menuruti permintannya, namun gagal. Hingga pada kali ketiga dia berusaha untuk membujuk Firdaus, lagi-lagi melalui polisi yang diutus untuk menemui Firdaus, dia mengatakan bahwa menolak seorang kepala negara dapat dipandang sebagai suatu penghinaan dan dapat menjurus pada ketegangan hubungan antara kedua negara, dan jika Firdaus benar-benar mencintai negerinya, jika dia seorang patriot, maka Firdaus akan mendatanginya. Dalam hal ini dapat kita lihat bahwa isu gender dan politik sangat terkait satu sama lain, jika isu yang umum selama ini selalu menyinggung tentang pemimpin negara perempuan, istri diplomat, menteri perempuan, atau ibu negara yang dikaitkan dengan peran mereka dalam ranah politik, tapi melalui tulisan ini, saya mendapatkan ‘sesuatu’, karena seorang perempuan yang bukan siapa-siapa, bahkan negara pun emoh untuk sekedar memperhatikan ataupun memberikan keadilan hukum padanya, ya, seorang pelacur. Bagaimana mungkin seorang pelacur dapat mempengaruhi hubungan diplomatik kedua negara, dan mengapa bentuk eksploitasi terhadap tubuh perempuan melalui kekuasaan dapat terjadi dinegara yang lekat dengan citra relijius-nya? Namun, Firdaus bukan wanita yang tidak berpikir dan pasrah pada keadaan, dia terus memperjuangkan keselamatannya dari ancaman penjara karena kasus ini, dan lagi-lagi Saadawi dengan rinci menulis detail tentang usaha yang dilakukan oleh Firdaus, terlepas dari penilaian benar dan salah, baik atau buruk dari tindakan yang dilakukan oleh Firdaus, karena negara yang seharusnya melindunginya dan para laki-laki yang seharusnya menghormatinya pun seolah luput dari nilai-nilai kebenaran dan kebaikan.
“… saya tak tahu apa-apa mengenai patriotisme, bahwa negeri saya bukan saja tidak memberi apa-apa, tetapi juga telah mengambil segalanya yang seyogyanya saya miliki, termasuk kehormatan dan martabat saya.” (Firdaus)
Setidaknya, para pejuang, perempuan sebagai kaum pergerakan di Mesir masih terus berjuang untuk mendapatkan keadilan dan rasa aman di negara tersebut. Perjuangan ini tidak mudah bahkan pada survey tahun 2013 kemarin, Mesir menjadi negara terburuk dalam penerapan hak asasi perempuan (tempo.co, November 2013), dan diskriminasi terhadap perempuan seolah merupakan bagian hidup dan menjadi hal lumrah di Mesir. Novel Saadawi ini hanya menggambarkan kehidupan atau experience dari seorang perempuan Mesir, hanya satu, dan tentu saja, masih banyak perempuan lain yang mungkin saja bernasib tidak jauh berbeda dari Firdaus. Revolusi yang terjadi di Mesir pasca Arab Spring, tidak dapat menjamin bahwa pemerintahan yang baru dapat menciptakan aturan baru dan keadilan gender dinegara tersebut, jika negara masih dalam huru hara dan penuh dengan kekerasan, dan perebutan kursi kekuasaan menjadi permasalahan paling penting yang menggeser isu-isu lain dalam masyarakat. Permasalahan gender, terutama dikawasan Timur Tengah, bukan hanya sekedar pada pakaian wanita (jilbab), bukan juga pada agama, tapi budaya kekerasan, subordinasi, dan struktur patriarki yang sarat dengan penggunaan kekuasaan untuk memarjinalkan perempuan, menjadi mimpi buruk bagi wanita di Mesir khususnya. Dan terakhir, walaupun agak terlambat bagi saya untuk membaca tulisan Saadawi ini, karena memang novel ini sudah cukup lama terbit, namun nilai dan makna yang berusaha disampaikan oleh Saadawi melalui perjalanan hidup Firdaus tidak akan pernah usang.
“Firdaus adalah kisah seorang wanita yang telah didorong oleh rasa putus asa ke pojok yang paling kelam. Wanita ini, sekalipun muak dan putus asa, telah menghidupkan dalam hati mereka,… suatu kebutuhan untuk menantang dan melawan kekuatan-kekuatan tertentu yang telah merampas hak manusia untuk hidup, untuk bercinta dan menikmati kebebasan yang nyata.” (Nawal el-Saadawi dalam Perempuan di Titik Nol)

Padang, 02 Januari 2015



Comments

Popular posts from this blog

Aku dan Aurora: Menatap Utara dan Selatan

A Bedtime Story #2

When I saw Me